WARALABA, ALTERNATIF STRATEGI EKSPANSI PALING MURAH

 

 

Memiliki usaha sukses, ingin membuka cabang baru namun modal dan sumberdaya manusia perusahaan sangat terbatas. Bagaimana strateginya ? Mumpung pasar belum diserobot pesaing, cepat isi kekosongan pasar dengan program waralaba. Strategi yang telah terbukti keberhasilannya di hampir seluruh belahan bumi, di negara maju mau pun berkembang. Tak heran jika waralaba dijuluki “The Great Inventions of Capitalism”.

 

 

S. Muharam

SMfr@nchise, 29 Oktober 2001 

 

 

Waralaba merupakan terjemahan dari kata franchise. Waralaba adalah suatu pengaturan bisnis dimana sebuah perusahaan (franchisor) memberi hak pada pihak independen (franchisee) untuk menjual produk atau jasa perusahaan tersebut dengan peraturan yang ditetapkan oleh franchisor. Franchisee menggunakan nama, produk/jasa, prosedur pemasaran, keahlian, sistem prosedur operasional, dan fasilitas penunjang dari perusahaan franchisor. Sebagai imbalannya franchisee membayar initial fee dan royalti (biaya pelayanan manajemen) pada perusahaan franchisor seperti yang diatur dalam perjanjian waralaba. Sebuah paket waralaba yang baik mampu membuat seseorang yang tepat bisa mengoperasikan sebuah bisnis dengan berhasil, bahkan tanpa pengetahuan sebelumnya tentang bisnis tersebut.

 

Waralaba digambarkan sebagai perpaduan bisnis "besar" dan "kecil": Penggabungan antara energi dan komitmen individual dari franchisee, dengan sumber daya dan kekuataan sebuah perusahaan besar (franchisor). Waralaba merupakan pilihan untuk berwirausaha dan bereskpansi dengan resiko paling kecil. Secara umum waralaba merupakan alternatif jalan keluar yang relatif aman bagi :

o      orang-orang untuk terjun memiliki bisnis sendiri;

o      perusahaan-perusahaan untuk melakukan ekspansi atau pembukaan cabang secara efektif tanpa memunculkan overhead yang tinggi dan kerumitan manajemen yang biasanya berkaitan dengan pendirian sebuah cabang;

o      perusahaan untuk mengubah sistem cabang atau agensinya menjadi mesin pemasaran yang ramping dan tangguh.

 

Di Amerika Serikat, waralaba telah dipilih sebagai alternatif menjalankan usaha favorit dalam industri retail, karena terbukti memiliki peluang keberhasilan lebih tinggi dibandingkan format bisnis biasa. Sebagai perbandingan, format bisnis biasa memiliki peluang sukses 35-45 %, sedangkan peluang sukses perusahaan waralaba mencapai 85 – 90 %. Tak heran jika waralaba digambarkan sebagai cerita keberhasilan era 1990-an, dan dijuluki sebagai “The Great Inventions of Capitalism”. Pada tahun 1992, 558.000 usaha waralaba mewarnai daratan Amerika atau 1/12 dari total usaha yang ada. Tahun 2000 yang lalu diperkirakan penjualan sektor waralaba mencapai US$ 1 trillion atau 50% dari total penjualan di sektor retail. Lebih dari 8 juta orang mendapat nafkah dari usaha waralaba. Sekitar 170.000 pekerjaan baru di sektor waralaba tercipta pertahunnya. Dengan perhitungan bahwa satu waralaba buka setiap 8 menit, waralaba benar-benar merupakan cerita keberhasilan era 1990-an (IFA, October 1994).

 

Asal-muasal konsep waralaba dimulai pada tahun 200 SM, ketika seorang pengusaha Cina memperkenalkan konsep rangkaian toko untuk mendistribusikan produk makanan dengan merk tertentu. Namun demikian, konsep waralaba produk seperti yang dikenal saat ini dimulai pada tahun 1863 oleh perusahaan mesin jahit Singer di Amerika. Sukses sistem distribusi Singer selanjutnya diikuti oleh Coca-Cola. Coca-Cola menjual waralaba pertamanya tahun 1899. Kemudian diikuti oleh dealer mobil dan minyak pada tahun 1910. Pertumbuhan waralaba yang sebenarnya atau dikenal dengan waralaba format bisnis baru terjadi pada akhir era 1950-an. Sampai tahun 1998, cara pendistribusian dengan waralaba diperkirakan mencapai lebih dari 50% total penjualan eceran di Amerika Serikat. Sukses format waralaba juga terjadi di negara-negara maju lainnya seperti: Kanada, Inggris, Jerman, dan Jepang. Negara-negara berkembang seperti Meksiko, Indonesia, dan Malaysia juga mendapatkan bahwa waralaba adalah cara yang efektif untuk menciptakan bisnis baru dan meningkatkan kesempatan lapangan kerja.

 

Di Indonesia sistem waralaba mulai dikenal pada tahun 1950-an, yaitu dengan munculnya dealer kendaraan bermotor melalui pembelian lisensi. Perkembangan kedua dimulai pada tahun 1970-an, yaitu dengan dimulainya sistem pembelian lisensi plus, yaitu franchisee tidak sekedar menjadi penyalur, namun juga memiliki hak untuk memproduksi produknya. Contoh format ini misalnya Coca Cola. Perkembangan sistem waralaba yang sebenarnya atau disebut waralaba format bisnis dimulai pada tahun 1980-an. Dalam waralaba format bisnis, franchisee tidak sekedar memproduksi dan menyalurkan produk/jasa, namun juga memperoleh hak penuh untuk mengkloning merek, logo, atribut, desain, tata letak, sistem prosedur operasional dan pemasaran dari franchisor. Contoh format ini misalnya Kentucky Fried Chicken.

 

Walaupun konsep waralaba terbukti sangat manjur, namun perkembangan waralaba lokal di Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan waralaba asing. Sebagai gambaran pada tahun 1991 jumlah waralaba lokal mendominasi sampai 78 %, yaitu 21 perusahaan dari total 27 perusahaan. Namun dalam waktu hampir sepuluh tahun jumlah waralaba asing berhasil melampaui waralaba lokal. Sampai tahun 2000 waralaba asing mendominasi sampai 88 %, yaitu 240 perusahaan dari total 270 perusahaan (Manajemen, Desember 2000). Yang menarik adalah suksesnya waralaba lokal untuk tetap tumbuh selama krisis moneter di Indonesia.  Pada periode 1996 – 1999, usaha waralaba di Indonesia mampu tumbuh sebesar 12,5 %, di tengah pertumbuhan ekonomi nasional dibawah 3 % (Peluang,  Juni 2000). Pelajaran yang dapat diambil selama krisis moneter adalah, waralaba lokal ternyata mampu mengungguli pertumbuhan waralaba asing. Selisih kurs yang demikian besar antara rupiah dengan dollar, mengakibatkan waralaba lokal memiliki keunggulan kompetitif yang lebih baik untuk dikembangkan.

 

Sementara orang berpikir bahwa waralaba hanya terbatas pada industri makanan siap hidang, kenyataan menunjukkan bahwa semua jenis bisnis yang mungkin ada, dapat diwaralabakan. Misalnya hotel, properti, rumah sakit, kursus, binatu, studio foto, minimart, spa, salon, bengkel, apotik, perawatan rambut, bengkel, kantor pos dan wartel/warnet dapat dikembangkan dengan format waralaba. SMfr@nchise telah mengembangkan satu chekclist praktis guna menilai kesiapan suatu usaha untuk diwaralabakan (Checklist Kesiapan Franchisor, SMfranchise © 1998).

 

Untuk mengambarkan bagaimana sebuah bisnis waralaba dirintis dan berkembang, dapat diuraikan sebagai berikut : Pada awalnya waralaba dimulai dari KEBERHASILAN usaha dari pemilik merek atau franchisor. Melalui format bisnis waralaba, franchisor berupaya menularkan keberhasilan usahanya kepada franchisee. Franchisor sebelumnya telah melakukan dan membuat satu formulasi standar untuk sukses sesuai dengan pengalamannya. Secara sederhana sama halnya seperti seorang penjahit yang membuat pola untuk menghasilkan pakaian yang sejenis. Proses ini dilakukan melalui riset dan pengembangan konsep, promosi, aktivitas pemasaran, serta membangun suatu reputasi yang baik dan citra yang dikenal. Setelah berhasil menguji konsep tersebut bisa berjalan dan bisa direproduksi di lebih satu lokasi, franchisor kemudian menawarkan waralaba tersebut kepada calon franchisee.

 

Selanjutnya, seorang individu (atau kemitraan atau perusahaan) melihat peluang yang ditawarkan franchisor di atas dan setelah mengevaluasinya, memutuskan bahwa waralaba ini menguntungkan. Ia kemudian membeli waralaba dari perusahaan tersebut dengan membayar sejumlah biaya yang dikenal sebagai initial fee atau franchise fee.  Sebagai imbalannya ia menerima hak untuk berdagang di bawah nama dan sistem yang sama, pelatihan, serta berbagai keuntungan lainnya. Sama halnya dengan memulai bisnis secara mandiri, franchisee bertanggungjawab untuk semua biaya yang muncul guna memulai usahanya ini. Perbedaannya adalah kemungkinan untuk  mengeluarkan uang lebih rendah karena kekuatan jaringan yang dimiliki oleh franchisor.

 

Bila franchisee telah membuka outletnya, secara teratur ia wajib membayar royalti, yaitu sejumlah persentase dari penjualannya kepada franchisor sebagai biaya mingguan, bulanan atau tahunan. Biaya ini adalah untuk layanan penunjang yang terus diberikan oleh franchisor. Saling kebergantungan antara pendapatan franchisee, layanan penunjang yang diberikan franchisor kepada franchisee, dan pendapatan franchisor yang didapat dari royalti merupakan faktor yang menjamin waralaba menjadi suatu sistem yang efektif -- karena setiap pihak ingin pihak lain berhasil. Kegagalan atas satu pihak berati kesulitan bagi pihak lainnya. Sangat tepat jika dikatakan bahwa waralaba adalah konsep kemitraan bisnis yang sebenarnya.

 

Untuk memberikan informasi lebih detil bagaimana teknis mempersiapkan program waralaba bagi perusahaan di Indonesia, SMfr@nchise telah menerbitkan buku berjudul REFERENSI TEKNIS WARALABA : Panduan Bagi Usahawan Untuk Merintis Jaringan Waralaba (SMfr@nchise © 2000). Harapan dari SMfr@nchise,  semoga waralaba lokal dapat menjadi tuan rumah di bumi pertiwi tercinta ini.

 

Sumber :

-         S. Muharam, Sukses Memilih FranchisorPanduan Bagi Calon Investor, SMfr@nchise, 2001.

-         S. Muharam, Referensi Teknis Waralaba-Panduan Bagi Usahawan Untuk Merintis Jaringan Waralaba, SMfr@nchise, 2000.

-         Majalah Master, Vol. 1 No. 008, April 2000.

-         Majalah Manajemen, edisi Desember 2000.

-         Tabloid Peluang, edisi Juni 2000.